Selasa, 01 September 2009

ciri-ciri batik

BATIK
(3)

Batik yang menjadi salah satu tradisi budaya dan ciri khas masyarakat Jawa, saat ini telah menjadi budaya nasional, misalnya pakaian batik. Namun demikian, dari masing-masing daerah masih bisa diketahui ciri-ciri batiknya. Untuk daerah Yogyakarta dan Surakarta yang sering disebut sebagai daerah bekas kerajaan terkenal di pulau Jawa di masa penjajahan Belanda terakhir, batik-batik yang berkembang di daerah ini mempunyai ciri khas yang berbeda dengan daerah-daerah lain misalnya daerah pesisir. Yogyakarta dan Surakarta banyak mengenal motif batik yang namanya bisa dikatakan sama, seperti motif Sidaluhur, Sidaasih, Sidamukti, Parangkusuma, Parangklithik, Truntum, dan sebagainya. Ada ratusan motif terkenal di kedua daerah tersebut.

Masing-masing motif batik di kedua bekas kerajaan ini biasanya mempunyai simbol dan makna tertentu yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari, seperti untuk upacara adat, penobatan, tradisi, dan sebagainya. Bahkan dulu ketika fungsi kerajaan masih kuat, ada motif-motif tertentu yang tidak boleh dipakai sembarangan oleh masyarakat umum dan hanya boleh dipakai oleh raja atau kerabatnya. Namun sesuai dengan perkembangan zaman motif-motif tersebut sekarang sudah umum dipakai oleh segala kalangan masyarakat. Begitu pula motif-motif tertentu biasanya cocok dipakai untuk upacara-upacara tertentu pula, dengan harapan baik bisa terkabul. Misalnya motif Truntum sering dipakai oleh orang yang sedang punya hajatan resepsi pernikahan. Begitu pula dalam tradisi mitoni, sebuah acara memperingati tujuh bulan kehamilan bagi wanita yang pertama kali hamil, ada tujuh motif batik yang disiapkan dalam upacara tersebut dengan harapan, agar bayi yang lahir nanti selamat dan mendapat kebahagiaan lahir batin. Motif-motif batik yang disiapkan, di antaranya adalah motif Sidaluhur dan Sidamukti.

Pada umumnya motif-motif batik Surakarta dan Yogyakarta terinspirasi oleh alam sekitar, misalnya tumbuhan-tumbuhan, bunga tanjung, burung garuda, dan sebagainya. Corak-corak tersebut dikreasikan dalam berbagai motif yang semuanya mempunyai makna simbolis. Sementara warna-warna motif batik Yogyakarta dan Surakarta umumnya juga lebih kalem jika dibandingkan dengan daerah-daerah pesisir. Warna-warna motif batik kedua daerah tersebut umumnya ke arah warna dominan putih, coklat muda (agak kekuning-kuningan), dan coklat tua. Sebaliknya warna-warna motif batik daerah pesisir, misalnya daerah Pekalongan dan Cirebon, lebih bervariasi, bisa lebih dominan warna biru, merah, atau lainnya. Hal ini bisa dimaklumi karena batik-batik pesisir sudah terpengaruh dari budaya lain, seperti Cina, Belanda, atau lainnya. Maka tidak heran, jika motif-motif batik pesisir banyak ditemukan ornamen-ornamen berbeda, seperti bunga tulip, gambar naga, kapal, ikan, ombak, dan sebagainya.

Tradisi masyarakat Jawa membuat batik sampai saat ini terus berkembang. Banyak daerah yang menjadi pusat produksi batik, baik di daerah Surakarta, Yogyakarta, maupun daerah-daerah lain di pesisir pantai utara Jawa, seperti Pekalongan, Semarang, Cirebon, hingga Madura. Daerah-daerah Laweyan dan Pasar Klewer di Surakarta, daerah Imogiri, Tirtodipuran, Taman, Ngasem, dan Beringharjo di Yogyakarta merupakan sebagian kecil daerah sentra produksi batik tradisional. Daerah-daerah tersebut terus memproduksi batik tradisional yang kemudian dipasarkan ke berbagai daerah di nusantara dan sebagian diekspor ke luar negeri. Bahkan saat ini negara seperti Jepang, Malaysia, Belanda, menjadi sebagian dari pemasaran batik dari masyarakat Jawa.

Seiring dengan perkembangan zaman, batik tidak hanya diproduksi secara tradisional. Saat ini batik sudah menjadi produksi industri pabrik. Berbagai industri tekstil telah mengembangkan produk batik dengan model cap atau printing. Bahan yang digunakan oleh pabrik pun lebih beraneka ragam, baik benang alami maupun benang yang berasal dari minyak bumi. Karena sifatnya batik cap, maka bisa dikatakan lebih murah harganya jika dibandingkan dengan batik tradisional. Selain pembuatannya lebih cepat, hasilnya juga kurang sempurna jika dibandingkan dengan batik trad.

alat untuk membatik

CANTHING, ALAT UNTUK MEMBATIK
BATIK (7)

Canting, sebuah alat membatik yang sudah tidak asing lagi bagi kaum wanita atau siapa saja yang bergelut dengan kegiatan membatik khususnya batik tulis. Sebab alat tersebut wajib hadir ketika seseorang melakukan kegiatan batik tulis. Alat tersebut ibarat pena bagi seorang wartawan atau penulis. Tanpa alat tersebut, jelas, para pembatik tulis tidak bisa bekerja. Modifikasi atau perubahan terhadap bentuk canting tidak diketahui secara persis telah berubah berapa kali, yang jelas bentuk canting yang sering dipakai oleh perajin batik tulis hingga saat ini adalah terdiri dari tembaga di bagian ujung dan kayu atau bambu pada bagian pegangan.

Tembaga yang berada di bagian ujung dibuat cekung di tengah (untuk tempat cairan lilin atau malam), berlubang bagian atas, dan bagian ujung diberi pipa kecil yang berfungsi untuk mengalirkan cairan lilin atau malam. Lempengan tembaga itu kemudian dikaitkan atau ditempelkan di ujung sebilah potongan kayu atau bambu dengan diameter sekitar 1-2 cm dan panjang sekitar 10 cm. Pipa kecil di ujung canting jumlahnya bisa 1, 2, 3, atau empat buah. Jumlah pipa kecil ini tergantung fungsi dan kegunaannya.

Canting dipakai oleh para pembatik tradisional untuk menorehkan cairan malam atau lilin ke kain yang telah diberi pola batik. Goresan-goresan itu bisa berupa garis, blok, atau titik sesuai dengan pola batik. Cara menorehkan canting ke kain pola batik diawali dengan malam atau lilin dimasak dalam wajan kecil. Setelah mendidih, canting dicelupkan ke wajan untuk mengambil cairan tersebut. Kemudian canting diangkat dan ditiup lebih dulu kemudian baru ditorehkan pada kain yang berpola batik. Teknik itu berlaku untuk batik tulis.

Saat ini canting masih bisa ditemukan di berbagai tempat sentra kerajinan batik tulis trasidional. Namun begitu, banyak tempat lain pula yang menyimpan canting, seperti museum misalnya. Canting di tempat ini berfungsi untuk diinformasikan kepada pengunjung museum, antara lain tentang bentuk-bentuk dan fungsi canting. Umumnya yang mengoleksi canting adalah museum batik atau museum yang menyimpan koleksi etnografi. Di Yogyakarta, museum yang menyimpan benda koleksi canting misalnya Museum Batik Kraton Kasultanan Yogyakarta, Museum Batik Yogyakarta, Museum Ullen Sentalu Kaliurang Yogyakarta, Museum Negeri Sonobudoyo Yogyakarta, dan Museum Rumah Budaya Tembi. Di samping itu tentu masih banyak tempat lain yang menyimpan canting, misalnya para kolektor batik.

Pada perkembangannya, ternyata canting mengalami modifikasi, yaitu dengan ditemukannya canting batik eletronik. Canting elektronik ini diciptakan oleh mahasiswa Jurusan Teknik Elektro UGM Yogyakarta. Prinsip kerja canting batik elektronik ini membantu memperlancar proses membantik yang sebelumnya jika menggunakan canting tradisional memakan waktu lama dan terlalu repot. Canting eletronik ini menggunakan tambahan power suply yang berfungsi untuk menyeting pemanas suhu. Pada canting eletronik ini, kata si pencipta, pembatik tidak usah lagi merebus dan meniup malam atau lilin, sebaliknya hanya memilih suhu pemanas yang sesuai, misalnya 70 derajat celcius. Dan keistimewannya lagi, dengan menggunakan canting elektronik ini, pembatik saat membatik bisa leluasa terus-menerus tanpa terputus-putus.


hasil kriya tekstil

PAMERAN 'URBAN BATIK' DI ARSLONGA

Komunitas Tetes, yang beranggotakan mahasiswa Kriya Tekstil ISI Yogyakarta, memamerkan karya-karya mereka di Rumah Seni Arslonga, 4-7 Mei. Yang dipamerkan adalah --dalam istilah mereka-- ‘urban batik’, yang merupakan perpaduan seni batik dan seni urban.

Mereka berpendapat, seni batik adalah seni tradisional, sedangkan seni urban adalah seni modern. Selain itu, mereka menilai, seni batik yang indah dengan kerumitan dan ketelitian dalam proses pembuatannya menyebabkan para pelakunya terjebak akan kebutuhan pasar. Sedangkan seni urban, kata mereka, cenderung bebas dalam mengapresiasikan karyanya, tanpa harus memikirkan nilai komersial.

Dengan pemikiran tersebut, kelompok ini mencoba membuat seni batik yang berbeda. Salah satunya untuk mendekatkan batik kepada anak muda yang masih beranggapan bahwa batik itu sesuatu yang kuno atau tradisional. Sementara, menurut mereka, seni urban yang berkembang di kehdiupan perkotaan yang modern lebih dekat dengan anak muda. Hal ini bisa dilihat dari fenomena street art, grafiti dan mural yang berkembang pesat di perkotaan. Menurut Antonius Yulianto, salah seorang anggota, istilah urban batik adalah pengaplikasian teknik-teknik batik menjadi ekspresi tak terbatas pada pengalaman mereka sebagai masyarakat urban.

Dalam diskusi ‘Urban Batik’, 7/5, Komunitas Tetes melihat bahwa telah terjadi perubahan kultur batik. Jika semula hanya dipakai di kalangan bangsawan, kini meluas ke semua kalangan. Jika semula hanya dipakai pada acara seremonial penting, kini dikenakan secara lebih leluasa. Demikian pula, jika semula hanya dipakai sebagai bahan kemeja, kini tidak sedikit digunakan sebagai bahan celana. Dari segi material pun, menurut mereka, semakin kaya. Jika semula sebatas kain, kini meluas ke kayu, kulit, kertas, dan sebagainya.

Kini para anggota Komunitas Tetes menciptakan batik yang, kata mereka, bercorak “kota”. Terdapat sekitar 50 produk aplikasi batik pada pameran ini.

Melihat sejumlah karya yang dipamerkan, sebagian masih membawa corak batik tradisional, misalnya masih ada stilisasi. Namun sebagian lagi terkesan keluar dari apa yang selama ini kita sebut batik, misalnya berupa kumpulan lingkaran warna-warni chic. Toh semuanya menawarkan motif dan disain yang menarik. Di tengah gaya batik pedalaman, pesisiran dan kontemporer, karya-karya Komunitas Tetes ini mungkin lebih condong ke kontemporer. Mereka bisa meneruskannya dengan eksplorasi terhadap ikon-ikon anak muda.